Waktu

Dua Filsafat Kepemimpinan  

Rabu, 07 Januari 2009


Oleh Eka Darmaputera

Tahu banyak tentang bagaimana cara berenang yang benar, tidak dengan sendirinya membuat orang bisa berenang. Pengetahuan ini bahkan nyaris tak ada gunanya, bila yang bersangkutan tidak pernah mencemplungkan dirinya ke air dan … berenang!
Yang ingin saya katakan adalah, bahwa tak ada jalan lain untuk belajar berenang, kecuali dengan berenang! Begitu pula dengan belajar mengemudi, belajar memasak, belajar komputer, atau belajar apa saja.
Memimpin juga begitu. Anda tidak bisa belajar memimpin, hanya dengan mengikuti sebanyak mungkin seminar kepemimpinan. Tak peduli berapa juta rupiah yang telah Anda bayar. Tak bisa pula sekadar dengan masuk ke program S-2 atau S-3 dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan. Sekali pun Anda berhasil mendapatkan ijazah dan meraih gelar. Satu-satunya cara bila Anda mau belajar memimpin, adalah dengan memimpin. Dan apakah seseorang adalah benar-benar pemimpin, ditentukan oleh ”gaya kepemimpinan”nya. Oleh baik-tidaknya ia memimpin.

JADI, apa perlunya dong pembicaraan yang panjang lebar selama ini? Mengapa tidak langsung to the point, kita bahas pelaksanaan praktisnya saja? Seperti, itu lho, kalau kita mengikuti kursus masak. Si guru ”kan tidak perlu bicara banyak. Cukup ia memberi contoh bagaimana mengiris ini atau itu, menumis ini atau itu; kita catat resepnya; dan segera memraktikkannya. Beres! Lebih singkat dan lebih bermanfaat.
Ya, bisa saja begitu. Banyak kursus kepemimpinan yang menawarkan cara ”praktis” seperti itu. Tapi sebenarnya ada masalah besar di sini. Yaitu, bahwa cara tersebut hanya akan melahirkan ”tukang-tukang pemimpin”, bukan ”pemimpin”.
”Tukang-tukang pemimpin”? Apa pula ini? Anda tidak tahu? Itu lho, sama seperti ketika si Babe (Benjamin S.) dengan bangga menyebut anaknya, si Doel (Rano Karno), sebagai -- ingat? -- ”tukang insinyur”. Dalam bayangan si Babe, anaknya itu adalah seperti seorang tukang bubut atau montir, hanya saja lebih mahir. Tentu. Abis, titelnya aje ”sinyur”.
Jadi, sekali lagi, cara yang Anda sebut ”lebih singkat” dan ”lebih bermanfaat” itu, paling banter hanya akan menghasilkan ”tukang pemimpin”; bukan ”seorang pemimpin”. Teknisi ahli, barangkali, tapi bukan pemimpin sejati. Atau bila memakai tamsil kursus masak-memasak, cara tersebut bisa membuat orang terampil sebagai ”tukang masak”, tapi jelas tidak melahirkan seorang ”koki”. Apa lagi seorang ”chef”.
Bilamana tujuan akhir kita hanyalah sekadar kepingin bisa ”nyetir” alias mengemudi, ini memang dapat dicapai dengan berlatih di belakang kemudi. Cukup asal tahu bagaimana caranya mengganti busi, atau membersihkan aki, atau menambah oli. Tak perlu tahu apa fungsi, dan bagaimana bekerjanya semua ini.
Tapi ”memimpin” itu membutuhkan lebih dari pada sekadar keterampilan seorang ”sopir”. Ini sama sekali bukan soal mana yang lebih rendah dan mana yang lebih tinggi. Tidak! Saya hanya hendak mengatakan, bahwa keduanya berbeda. Tidak boleh dicampur-adukkan.
Aries, sopir saya, saya sebut seorang ”sopir yang baik”, karena dapat mengemudikan mobil dengan kencang dan aman. Artinya, yang dibutuhkan oleh si Aries untuk mendapatkan sebutan itu adalah ”keterampilan teknis”, yang memang sangat sangat penting!. Tapi seorang pemim-pin memerlukan lebih dari ”keterampilan”.

KETERAMPILAN teknis memimpin dan kemampuan manajerial tentu penting. Tapi tidak cukup. Sebab ada yang sangat kualitatif. Dalam kepemimpinan, ada nilai-nilai yang mendasar yang tersangkut di situ. Sama seperti pintar cari uang tidak serta merta membuat seseorang otomatis menjadi seorang suami teladan, begitu pula pandai berorganisasi tidak dengan sendirinya menahbiskan seseorang menjadi pemimpin jempolan. Setuju?
Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang dapat memimpin dengan baik. Benar! Tapi ”bagaimana” (= how) ia – secara praktis -- melaksanakan kepemimpinannya, ini ditentukan oleh apa yang disebut ”filsafat kepemimpinan”. Artinya, pemahaman yang bersangkutan mengenai ”apa” (= what) kepemimpinan itu.
Dan, pada gilirannya, pemahaman mengenai ”apa” kepemimpinan itu, ditentukan oleh ”motivasi” (= why) kepemimpinan yang bersemayam di hati orang per orang. Itu sebabnya, pembicaraan yang panjang lebar mengenai motivasi dan nilai-nilai. Seorang ”tukang pemimpin” tidak memerlukan itu. Tapi seorang ”pemimpin sejati” dikemudikan oleh itu.
Namun demikian, saya tahu, bahwa semua pembicaraan tentang motivasi dan nilai-nilai itu akan mubazir, sia-sia dan percuma, bila ia berhenti menjadi sesuatu yang ”normatif” belaka. Artinya, tidak ”operatif”. Karena itu, sekarang saya mesti menukik ke tataran yang ”sedikit” lebih operasional. Kita akan membahas masalah ”filsafat kepemimpinan”.

APAKAH ”filsafat kepemimpinan” itu? Tentang ”kepemimpinan”, sedikit banyak, kita telah membahasnya. Tapi mengenai ”filsafat”, belum.
Sebagaimana kita ketahui, ”filsafat” adalah pengetahuan yang paling tua dalam peradaban manusia. Bahkan untuk kurun waktu tertentu, ”filsafat” adalah satu-satunya pengetahuan yang dikenal oleh manusia. Ini terjadi sebelum orang membuat perbedaan antara ”filsafat” -- yang lebih ”kontemplatif” dan lebih ”metafisikal” -- di satu pihak, dan, ”ilmu pengetahuan” -- yang lebih ”empiris” dan lebih ”fisikal” di lain pihak.
Asal-muasalnya adalah ia lahir dari hakikat manusia sebagai ”makhluk yang bertanya”. Manusia bertanya, karena – berbeda dari makhluk lainnya – ia tidak mau secara pasif begitu saja menerima apa yang ada. Manusia juga bertanya, karena ia tidak merasa aman dan nyaman hidup di tengah-tengah misteri. Tidak tahan diseputari oleh hal-hal yang serba asing dan yang tidak dikenalnya.
Bila menghadapi situasi seperti itu, ia pasti akan berupaya sekuat tenaga untuk menguasai serta mengubah kesekitarannya itu, untuk kemudian dapat mengeksploitasinya. Inilah yang kita kenal sebagai kemampuan ”kreatif” manusia.
Tapi bagaimana bila – seperti sering terjadi -- kenyataan tidak mungkin diubah? Dengan perkataan lain, bila ”kenyataan” yang ada ternyata jauh lebih perkasa, ketimbang ”kemampuan” manusia mengubahnya? Maka inilah yang akan terjadi. Yaitu si manusia-lah yang akan berusaha mengubah dan menyesuaikan dirinya. Ini disebut sebagai kemampuan ”akomodatif” manusia.
Yang terpenting yang hendak saya kemukakan adalah, manusia selalu mengambil sikap terhadap sekitarnya. Dan untuk mengambil sikap itu maka, tidak dapat tidak, paling sedikit manusia harus mengenali kesekitarannya itu. Karena inilah dan untuk inilah, manusia bertanya ”apa?”.
TAHUKAH Anda sekarang, mengapa pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut manusia adalah pertanyaan ”apa?” (= what). Pertanyaan ini, bukan, yang terus meluncur dari mulut anak-anak kita ketika balita? Ini apa? Itu apa?
Dan, hebatnya, bila objek yang dipertanyakan tersebut tidak dapat menjelaskan sendiri ”apa” atau ”siapa” dia, maka manusialah yang kemudian menentukan ”nama”nya. Itu sebabnya, menurut Alkitab, tindakan atau pekerjaan yang pertama-tama dilakukan oleh manusia, adalah apa?
Mungkin saja ia berkebun. Bisa jadi berjalan-jalan mengitari taman. Dan tidak mustahil melakukan pekerjaan-pekerjaan lain.
Ya! Namun bukan itu yang dikatakan oleh alkitab. Menurut Alkitab, pekerjaan pertama manusia adalah … ”memberi nama”! ”Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang hutan …” (Kejadian 2:20).
”Memberi nama” ini penting, karena ia menjawab pertanyaan manusia yang paling elementer, ”apa?” Dengan menjawab pertanyaan ”apa” ini, manusia membebaskan diri dari ”misteri” yang membuat ia tidak aman dan tidak nyaman itu. Manusia juga kemudian tahu, apa yang secara teknis harus ia lakukan -- kemudian.

”FILSAFAT” adalah pengetahuan yang tertua dalam peradaban manusia, karena ia berkutat dengan pertanyaan yang paling awali dari manusia – ”apa”? Jadi, sejajar dengan itu, ”filsafat kepemimpinan” menggumuli pertanyaan ”apa” yang ada di balik teknis dan praktis kepemimpinan.
Bila ”motivasi kepemimpinan” terletak di hati sanubari – di ”pusat kehendak” -- manusia, ”filsafat kepemimpinan” bersemayam di otak – di ”pusat kendali/operasi”-- tingkah laku manusia. Ia berfungsi bagaikan ”kompas”. Menentukan jalan dan arah yang harus ditempuh.
Menurut alkitab, ada dua ”filsafat kepemimpinan” yang paling utama. Yang pertama, supaya terdengar sederhana sekaligus alkitabiah, saya sebut saja, filsafat kepemimpinan ”IKUTLAH AKU”. Sedang yang kedua, filsafat kepemimpinan ”PERGILAH KAMU”.
Dua filsafat kepemimpinan ini sangat mewarnai gaya kepemimpinan Yesus. Karena itu penting kita bahas. Tapi, maaf, ini masih harus ”TO BE CONTINUED…” alias ”BERSAMBUNG …” ***

AddThis Social Bookmark Button


 

Design by Amanda @ Blogger Buster